Hotel Silom Serene, Bangkok |
Sinar matahari terik menyengat, tapi setitik keringat tidak jua mau menetes.
Entah mengapa bulan April selalu jadi bulan dimana matahari Bangkok
berlaku sangat kejam. Uwwwwh.Kacamata
penahan cahaya, payung, blus berlengan panjang.... macam-macam cara
yang ditempuh olehku dan para peserta program belajar untuk mengurangi
penderitaan terpanggang mentah-mentah.
Aku
memaki-maki dalam hati. Kunjungan ke organisasi komunitas pengguna
NAPZA (narkotika, psikotropika & zat adiktif lain) dan organisasi
komunitas orang terinfeksi HIV siang ini sudah tak terasa menarik lagi
bagiku. Hanya saja aku harus memompa semangat untuk mengikuti kegiatan
ini sampai akhir.
Di
penghujung program belajar, kami akan menyajikan presentasi situasi
NAPZA negara masing-masing di dua badan PBB terkait yang berkantor di
Bangkok, dengan harapan mereka akan memperhatikan nasib penanganan NAPZA
di negara-negara kami para peserta.
Sejak
dari Australia, situasi Bangkok yang kupantau tetap stagnan, tidak
memburuk tapi juga tidak terdengar ada perbaikan sejak bentrok berdarah
10 April lalu. Berulang kali aku mengontak panitia agar memastikan
situasi Bangkok benar-benar aman saat rombongan kami berada di sana.
Jawaban
yang kami terima cukup standar, keselamatan peserta akan ditanggung
pemerintah Australia yang menjadi tuan rumah program belajar ini. Walau
dalam hati aku meragukan keselamatan macam apa yang sanggup 'ditanggung'
pemerintah Australia, aku memutuskan untuk tetap meneruskan mengikuti
lanjutan program belajar di Bangkok setelah 5 minggu melewatkan sesi
pertama di Melbourne, Sydney dan Canberra.
Hari
ini adalah hari ketiga keberadaan kami di Bangkok. Kabar yang baru saja
kudengar, lokasi tempat kami menginap, area Silom Road, jalan raya tak
jauh dari Hotel Silom Serene tempat kami menginap menjadi incaran
demonstran kaus merah. Kami harus kembali ke hotel secepatnya, bila
terlambat dikuatirkan kami tak akan bisa masuk ke Silom.
Alhasil,
setelah kunjungan ke tempat kedua berakhir, taksi kami segera melaju
pulang ke hotel. Di ujung jalan masuk menuju Silom Road hatiku berdegup
kencang menyaksikan ribuan tenda demonstran kaus merah di sepanjang
Lumpini Park, yang berhadap-hadapan langsung dengan Silom Road. Sejumlah
besar polisi berbanjar di ujung Silom Road membentuk barikade
pertahanan. Sementara demonstran kaus merah bergerombol dalam jumlah
besar di ujung Lumpini Park hanya dipisahkan beberapa ratus meter dari
pasukan polisi tadi.
Bangkok Riot | Photo : perempuancahaya |
Soldier at Bangkok Riot | Photo: perempuancahaya |
Aku mendengar umpatan-umpatan kekesalan dari rekan-rekan peserta program belajar yang menumpang taksi yang sama denganku. Aku pun tidak kalah riuh melampiaskan kemarahan pada situasi ini dengan melontarkan berbagai bentuk pertanyaan retoris yang inti-intinya cuma satu, " Kok bisa gini siiiiiih.....???". Tiba-tiba dalam sekelip waktu, hotel tempat kami tinggal menjadi pusat lokasi konflik. Sedangkan sebelum keberangkatan, kami semua diyakinkan bahwa panitia memilih Silom Road, karena kawasan ini mereka nilai 'aman' dan 'jauh dari pusat konflik'.
Kenyataan pahit yang kami saksikan memicu reaksi campur aduk yang memang tak terkendali. Aku segera memikirkan langkah-langkah apa yang harus dilakukan. Begitu taksi berhenti di depan hotel, aku bergegas mengisi ulang pulsa telefon genggam-ku, untuk mengabari keluarga dan rekan-rekan di tanah air tentang situasi terkini.
Sore itu kulewatkan di kamar dengan tengkurap diatas kasur, memelototi layar laptop untuk mencermati berita-berita terkini mengenai latar belakang konflik Thailand ini. Sebelumnya aku tidak terlalu tertarik untuk membaca dengan detail, tapi akhirnya situasi memaksaku untuk mencari tahu apa yang terjadi.
Mulai paham latar belakang dan intrik-intrik di balik konflik, aku dari tadi menyadari, tak satupun dari panitia mengontak kami para peserta untuk membicarakan keadaan darurat ini. Sedangkan bagiku, sudah seharusnya mereka bereaksi cepat dan tanggap pada perkembangan terkini.
Diskusi bercampur curhat kejengkelan makin panas merebak diantara aku dan rekan sekamarku dari Nepal. Dia sendiri bersumpah-sumpah akan segera meninggalkan tempat setelah dapat mengontak eks teman kuliah-nya yang tinggal di Bangkok.
Ajakan Nabin, rekan Nepal-ku untuk menghabiskan waktu di Gym tidak mampu menggerakkan hatiku. Aku justru lebih berminat untuk berkeliaran di luar sana untuk memantau keadaaan dengan mata kepala sendiri, atau minimal mengabadikan gambar-gambar situasi jalanan dengan kamera 2 MP bawaan Blackberry-ku.
Waktu menunjukkan pukul 7.30 malam. Aku dan Nabin, satu-satunya peserta perempuan selain aku pada program belajar ini mulai berjalan dengan sedikit was-was menuju Silom Road. Aaah....ternyata cukup sepi, tidak terlihat banyak tentara di depan Bangkok Bank di ujung gang menuju Silom Road.
Kelegaaanku
dan Nabin berubah seketika saat dari kejauhan kami melihat barisan
tentara berderap maju menuju arah kami berdiri. Ternyata bukan hanya
satu pleton itu saja, dibelakang mereka tak henti-hentinya muncul pleton
baru menuju gang kecil ke arah hotel tempat kami menginap dan ke ujung
Silom Road yang lain.
Aku makin ketar ketir, tapi senang bukan kepalang mampu menyaksikan momen ini. Ya sudahlah, toh tidak tiap hari dan tidak tiap orang mengalami hal yang seperti aku alami. Jadi aku memutuskan untuk menikmati malam ini dengan berkeliling lebih jauh sedikit.
Aku makin ketar ketir, tapi senang bukan kepalang mampu menyaksikan momen ini. Ya sudahlah, toh tidak tiap hari dan tidak tiap orang mengalami hal yang seperti aku alami. Jadi aku memutuskan untuk menikmati malam ini dengan berkeliling lebih jauh sedikit.
Aku menyeberangi Silom Road menuju Phatphong Night Market, sebuah gang kecil yang didalamnya berjajar klub-klub kecil yang mempertunjukkan berbagai show yang
menjual seks sebagai daya tarik utama. Gang tersebut penuh sesak dengan
barisan tentara dan polisi. Truk-truk perlengkapan dan
gulungan-gulungan kawat duri mendominasi gang tersebut.
Klub-klub tidak berpengunjung, hanya kelompok-kelompok tentara dan polisi yang berjajar atau duduk-duduk didepan gerbangnya. Wanita-wanita pekerja klub tertawa-tawa sesama mereka, menghabiskan malam yang cukup mencekam itu dengan mengobrol mengusir ketegangan.
Klub-klub tidak berpengunjung, hanya kelompok-kelompok tentara dan polisi yang berjajar atau duduk-duduk didepan gerbangnya. Wanita-wanita pekerja klub tertawa-tawa sesama mereka, menghabiskan malam yang cukup mencekam itu dengan mengobrol mengusir ketegangan.
Setelah lelah menjepret sana sini dengan hasil yang tidak maksimal, akupun memutuskan untuk pulang ke hotel, walaupun sebenarnya masih penasaran dan masih ingin berlama-lama berada di Phatphong.
Besok sore-nya aku meninggalkan Bangkok menuju Jakarta. Cukup sudah pengalaman menjajal menjadi wartawan perang. Mungkin perlu lebih banyak latihan nyali dan ilmu melarikan diri.
Silom Serene Hotel - Bangkok, April 19, 2010
No comments:
Post a Comment