Perkuwehan "Bah Bayi" Semarang, Melongok Kesibukan Menjelang Imlek

Jumat malam di toko tembakau Mukti kian menua, kemacetan berangsur mereda di tikungan jalan Wahid Hasyim menuju jalan Beteng, Semarang. Obrolanku dengan tante Agung dan Tia terputus oleh sapaan Oom Agung, sang empunya toko tembakau.

Beliau berencana mengambil kue pesanan untuk sembahyang esok hari di sebuah toko kue khusus pembuat kue tradisional tionghoa untuk keperluan sembahyang. Kata Oom, letaknya tidak terlalu jauh dari toko tembakau, siapa tahu aku berminat ikut melongok kesana. Tanpa ba bi bu, bergegas aku menyambar tas dan segera mengikuti langkah Oom dan Kunyeng menuju toko kue.

  
Kami berbelok ke kanan, menyusuri jalan Beteng yang penerangannya tak terlampau memadai. Sesekali kami berpapasan dengan rombongan pengunjung pasar imlek semawis yang hendak pulang. Pasar imlek semawis adalah pasar malam yang khusus digelar setahun sekali menjelang tahun baru China. Lokasinya dipusatkan di jalan Wotgandul Raya.


Sekitar 200 meter dari ujung jalan Beteng, kami tiba di rumah no 98. Nama toko kue ini unik, Perkuwehan "Bah Bayi"Keunikan kedua, bagian depan rumah ini justru terletak di jalan Gang Baru no 109. Sementara pintu yang aku masuki lewati jalan Beteng, adalah pintu belakang rumah. Pintu ram kawatnya memungkinkan aktivitas di dapur toko kue terlihat dari jalan. Begitu menjejak ke ruangan belakang yang difungsikan sebagai dapur, beberapa pekerja terlihat sedang mengadoni terigu yang akan diolah menjadi berbagai jenis kue.

 Pria usia 40 tahunan yang sekarang mengelola toko merupakan pewaris generasi ketiga dari usaha kue tradisional ini. Pria pemilik toko yang aku lupa menanyakan namanya, tersenyum dan mempersilahkan kami bertiga masuk. Aku masih terkesima menyaksikan tumpukan adonan kue wiku warna fuschia siap panggang, dan  adonan yang masih berada di meja penggilingan. Warnanya sungguh 'jreng-jreng'.

Dan bulatan-bulatan sebesar bola pingpong diatas tampah bambu ini adalah kacang hijau, yang akan dijadikan isi Wiku. Nyammm-able sepertinya ..


Oom Agung melangkah gesit memasuki ruangan dalam yang ternyata merupakan tungku perapian. Dua loyang kaleng berisi adonan kue wiku mengantri giliran dipanggang di perapian kayu. Suasana cukup gelap disini, hanya cahaya api dari kayu bakar yang menerangi ruangan.

Ruangan berikut terdapat rak besi tinggi yang memuat bungkusan berbentuk tumpeng. Ternyata itu kue wajik yang dibungkus kertas. Oke, toh aku sudah sering melihat kue wajik. Jadi tidak perlu membuka bungkus kertas untuk tahu bentuknya.

Sekelebatan ada satu kamar khusus berisi rak-rak kayu pendek dimana kue-kue keranjang warna coklat sedang disusun. Aku berbelok ke kiri dan tiba di ruang depan dari toko kue "Bah Bayi", seorang perempuan berusia sekitar 60 tahun menyambut kami. Ia, tante dari si pemilik toko kue.



Di ruang tamu berukuran sekitar 4 x 3 meter itu, tersusun keranjang-keranjang bambu berisi kue-kue pesanan yang sudah jadi, menunggu diambil oleh para pemesannya. Menurut Oom Agung, toko kue "Bah Bayi" selalu jadi pilihan mayoritas warga tionghoa di kota Semarang untuk memesan kue-kue keperluan sembahyang. Orisinalitas rasa kue buatan "Bah Bayi" membuat masyarakat dari luar kota Semarang sekalipun tetap setia mempercayakan pemesanan kue-kue sembahyang di tempat ini.

Oom Agung memesan 2 kue keranjang dan 1 hwat kue ukuran medium. Hwat kue berwarna fuschia, bagian atasnya merekah empat, sementara tigaperempat tubuh kue dibungkus oleh daun pisang. Hwat kue dalam bahasa Hokkian artinya bertambah besar dan maju. Hwat kue nantinya akan ditempatkan bersusun diatas kue keranjang pada saat upacara sembahyang.

Sedangkan tulisan kanji yang tertera di kue-kue wiku seringkali adalah hokki (keberuntungan) atau panjang umur.



Selamat tahun baru Imlek 2564. Gong Xi Fa Cai.






2 comments:

copyright © . all rights reserved. designed by Color and Code

grid layout coding by helpblogger.com